Skip to main content

Lari Kembali




Ini pertama kalinya aku memikirkan cara bagaimana membunuh diriku sendiri
Setelah sekian patah yang hadir
Tuhan, aku ingin lari dengan sangat kencang
Tidak lupa membawa waktu untuk ikut serta
Supaya dia bisa sedikit membuatku lupa
Atau bahkan amnesia
Itu sebabnya aku ingin naik gunung
Lalu menjatuhkan diri ke jurang di sana
Atau menunggu jam sepuluh pagi hingga gas belerang mematikanku pelan-pelan
Dosa-dosa ini, aku yang buat, aku yang ciptakan
Tapi aku sendiri yang tidak bisa terbiasa dengan dosa itu
Tuhan, dimana kau bersarang?
Aku ingin ikut denganmu
Aku berjanji akan menggosok gigiku dan mencuci kakiku setiap dekat
Tapi aku ingin lahir kembali
Dan menjadi aku

Comments

Popular posts from this blog

Kencana

Sebuah tindakan dalam ketidakmengertian. Di dekat lintasan rel kereta api, di batas wilayah Kota, seorang perempuan menyalakan kreteknya, mengeluarkan headset yang kusut dari dalam saku jaketnya. Lama jemarinya berkutat pada kabel yang belit-membelit. Tapi tatapannya tidak berada pada apa yang sedang dikerjakannya. Apakah ia sedang mengurai sesuatu yang lebih berbelit dalam kepalanya? Dalam gelap aku seperti menemukan mata yang putus asa. Anak-anak sungai mengalir turun, mencoba diputusnya dengan satu sapuan tangannya dengan keras. Dengan keras pula ia mencoba menghalau semua kesedihan. Lihatlah, ia sudah berhasil mengurai kabelnya dan segera memasangnya di telinganya. Tangisnya malah pecah dan aku mendengar sedu sedannya dengan jelas. Jaket jeans yang telah ditanggalkannya tadi lalu di ambilnya, aku tidak begitu jelas apakah ia menggunakannya untuk mengusap anak-anak air mata di wajahnya atau menciuminya. Sebab ia seperti sedang bernapas di antara kerah jaket jeans tersebut. Ap...

Mencari-Cari

Aku pergi ke tukang kunci, mencari kata kunci yang tepat. Sudah lima, eh barangkali sudah enam kali aku berputar. Tapi tak juga menemukan. Bagaimana cara mencari benang merah? Kucoba pergi ke tukang benang, pabrik benang, peracik warna merah. Tak juga menemukan benang merah. Lalu, aku coba mencari-cari di gawaiku soal tutorial mencaci maki diri sendiri. Ah, aku tidak perlu itu. Aku mencari apa yang harus kucari, aku cari ke toko perabot, pasar loakan, yang ada hanya sisa-sisa becek genangan hujan. Aku berhenti Diam Berjamur ~

Sajak Senja

Senja yang indah, bukan? Ketika awan hitam mendadak tergantikan oleh merahnya langit Ketika rintik air hujan berubah menjadi semburah cahaya emas di ufuk barat Ketika dingin menusuk tulang berpilin, berubah menjadi sebuah kehangatan sunset yang menawan Ketika suara sayap hewan malam mulai bergetar menyambut petang Ketika cahaya hijau kunang-kunang mulai bergemerlapan Ketika satu-dua bintang mulai bermunculan, menciptakan gugusan berlian di angkasa Lalu, dimana letak kecelaan Tuhan? Bukankah hidup ini sudah cukup indah? Lalu, mengapa masih ada saja yang terkungkung oleh senyapnya hati menanti cinta yang semu? Lalu, mengapa masih ada penderitaan di atas kehidupan yang seharusnya indah ini? Entahlah, terkadang seseorang memang memiliki alasan untuk apa mereka menderita, untuk apa mereka menanti sesuatu yang semu. Barangkali untuk sebuah kebijaksaan hidup saat usia senja mereka nanti.