Skip to main content

Kencana


Sebuah tindakan dalam ketidakmengertian. Di dekat lintasan rel kereta api, di batas wilayah Kota, seorang perempuan menyalakan kreteknya, mengeluarkan headset yang kusut dari dalam saku jaketnya. Lama jemarinya berkutat pada kabel yang belit-membelit. Tapi tatapannya tidak berada pada apa yang sedang dikerjakannya. Apakah ia sedang mengurai sesuatu yang lebih berbelit dalam kepalanya? Dalam gelap aku seperti menemukan mata yang putus asa. Anak-anak sungai mengalir turun, mencoba diputusnya dengan satu sapuan tangannya dengan keras. Dengan keras pula ia mencoba menghalau semua kesedihan. Lihatlah, ia sudah berhasil mengurai kabelnya dan segera memasangnya di telinganya. Tangisnya malah pecah dan aku mendengar sedu sedannya dengan jelas.

Jaket jeans yang telah ditanggalkannya tadi lalu di ambilnya, aku tidak begitu jelas apakah ia menggunakannya untuk mengusap anak-anak air mata di wajahnya atau menciuminya. Sebab ia seperti sedang bernapas di antara kerah jaket jeans tersebut. Apakah jaket itu kepunyaan orang lain? Seseorang yang dikasihinya? Yang coba ia hadirkan dari bau pakaiannya, seolah-olah dengan bau itu ia merasa ditemani.

Ada sekelibat pantulan cahaya dari wajahnya ketika ia menyibakkan rambutnya. Seperti bias lampu yang mengenai air. Astaga, sungai itu meluap. Bahunya terguncang-guncang. Kesedihan apa yang telah membuatnya menjadi semenyedihkan itu. Sesungguhnya, aku tidak tega melihatnya. Kakiku hendak bangkit, tapi kurasa ia harus menyelesaikan kesedihannya sendirian. Aku tidak ingin mengganggu khusyuknya. Air matanya mungkin bak oase di lereng utara Sierra Blanco, atau mungkin juga bunga seruninya Nadira.

Tangisnya sudah sedikit reda. Mata yang sembab itu menyapu sekeliling. Bulan malam itu sudah seperti mangkuk pecah milik ibunya Aan Mansyur. Awan-awan juga pecah, tanda banyak ikan di lautan, nelayan pasti sedang berbahagia. Desir angin lembut membawa udara kering dari Australia hingga ke pinggiran kota ini. Tempat itu sepi, lagipula sudah pukul dua dini hari, orang-orang mungkin sudah tertidur atau sedang bercinta dengan kekasihnya atau juga para kekasih gelapnya. Menuntaskan birahi yang tak ada habisnya.

Sudah tujuh kali kereta api lewat di rel ini, empat ke timur dan tiga lainnya ke barat. Perempuan itu masih di sana. Ia terlihat mengutak-atik gawainya. Mungkin mengganti lagu, atau mungkin sedang berkirim pesan. Ia mencabut headset, menutup handphonenya dan memejamkan mata sembari menengadahkan wajahnya ke hadapan rembulan. Ujung bibirnya tertarik pelan. Wah. Dia tersenyum! Kecil dan samar, sesuatu telah mengukirkan senyum di matanya yang becek seperti habis digenangi banjir. Apakah ia baru saja mendapatkan pelajaran menerima? Ah, jika iya, aku turut lega. Lalu ia bangkit dari duduknya. Selesai sudah kesedihannya malam itu. Ia mulai berjalan meninggalkan punggung tempat duduknya. Jalannya agak goyah, antara mantap dan berat. Mungkin akibat terlalu lama duduk, atau entahlah. Kakinya telanjang dan tidak kulihat ada rantai besi di sana. Ia semakin mantap berjalan ke depan, menuju besi rel. Rel kereta bergetar. Kereta  datang dari arah barat.


November yang kering, 13.

Comments

Popular posts from this blog

Benang Hitam

Setiap orang memiliki buntalan benang hitam di batok kepalanya. Terkubur rapi hingga tidak menyerupai kuburan jenis manapun. Di atas meja ada kopi putih, air putih, rokok putih, cangkir putih, stopkontak putih, dan asap-asap putih yang siap mengudara kepada yang tak berwarna. Oh, betapa aku menyukai warna putih. Kata orang, putih itu identik dengan kesucian, kemurnian, dan sesuatu yang berbau positif. Ah, bahkan benda-benda di depanku pun aku tak yakin akan kesucian, kemurnian dan hal-hal positif lainnya. Rupanya aku terlalu banyak makan stigma dan konstruksi selama 20 tahun belakangan. Dan sayangnya, aku tidak bisa mengubah buntalan hitam itu menjadi putih. Apakah artinya dalam pikiranku sendiri tidak ada sedikit kesucian, kemurnian dan hal-hal positif itu? Persetan! Kau akan mati jika terus menerus makan stigma yang terus disuapkan di mulut pikiranmu! Ah, bukannya aku memang ingin mati? Jangan bodoh! Kau sudah terlalu liar. Ups! *** Hei, bukankah aku tidak p

Sajak Senja

Senja yang indah, bukan? Ketika awan hitam mendadak tergantikan oleh merahnya langit Ketika rintik air hujan berubah menjadi semburah cahaya emas di ufuk barat Ketika dingin menusuk tulang berpilin, berubah menjadi sebuah kehangatan sunset yang menawan Ketika suara sayap hewan malam mulai bergetar menyambut petang Ketika cahaya hijau kunang-kunang mulai bergemerlapan Ketika satu-dua bintang mulai bermunculan, menciptakan gugusan berlian di angkasa Lalu, dimana letak kecelaan Tuhan? Bukankah hidup ini sudah cukup indah? Lalu, mengapa masih ada saja yang terkungkung oleh senyapnya hati menanti cinta yang semu? Lalu, mengapa masih ada penderitaan di atas kehidupan yang seharusnya indah ini? Entahlah, terkadang seseorang memang memiliki alasan untuk apa mereka menderita, untuk apa mereka menanti sesuatu yang semu. Barangkali untuk sebuah kebijaksaan hidup saat usia senja mereka nanti.

Lari Kembali

Ini pertama kalinya aku memikirkan cara bagaimana membunuh diriku sendiri Setelah sekian patah yang hadir Tuhan, aku ingin lari dengan sangat kencang Tidak lupa membawa waktu untuk ikut serta Supaya dia bisa sedikit membuatku lupa Atau bahkan amnesia Itu sebabnya aku ingin naik gunung Lalu menjatuhkan diri ke jurang di sana Atau menunggu jam sepuluh pagi hingga gas belerang mematikanku pelan-pelan Dosa-dosa ini, aku yang buat, aku yang ciptakan Tapi aku sendiri yang tidak bisa terbiasa dengan dosa itu Tuhan, dimana kau bersarang? Aku ingin ikut denganmu Aku berjanji akan menggosok gigiku dan mencuci kakiku setiap dekat Tapi aku ingin lahir kembali Dan menjadi aku