Skip to main content

Pelacur Itu Pulang

(Sumber gambar: lakonhidup.com)


Pelacur itu muntah, dikeluarkannya semua yang ada di dalam lambungnya. Kesedihan, rasa percaya, luka, aman-aman palsu, janji kosong, dan cinta yang baunya serupa bangkai tikus yang telah mati 7 hari. Sekarang yang tersisa hanya kosong. Sebentar lagi lambungnya akan mencerna dinding-dinging perutnya sendiri. Lalu perlahan-lahan akan bolong sampai ke permukaan kulitnya.

Beruntung, baru saja gerimis turun. Diluruhkannya semua darah yang merembes di bajunya yang putih. Pedih sekali.

Ia tak tahu, kutukan siapa yang dikabulkan oleh langit, sumpah siapa yang disambut oleh tanah. Sebab semua menyakiti, semua tersakiti. BPJS tidak pernah bisa menanggung semua biaya pengobatannya, ia harus berusaha sendiri. Satu kerikil di tengah jalan mungkin bisa membuatnya terpeleset, kakinya akan terseok-seok. Di tengah jalan pulangnya nanti, hanya kepada kucing jalanan ia tunjukkan belas kasihan, bukan berarti ia masih punya hati.

Sebab sudah pasti ia telah mati.


Comments

Popular posts from this blog

Benang Hitam

Setiap orang memiliki buntalan benang hitam di batok kepalanya. Terkubur rapi hingga tidak menyerupai kuburan jenis manapun. Di atas meja ada kopi putih, air putih, rokok putih, cangkir putih, stopkontak putih, dan asap-asap putih yang siap mengudara kepada yang tak berwarna. Oh, betapa aku menyukai warna putih. Kata orang, putih itu identik dengan kesucian, kemurnian, dan sesuatu yang berbau positif. Ah, bahkan benda-benda di depanku pun aku tak yakin akan kesucian, kemurnian dan hal-hal positif lainnya. Rupanya aku terlalu banyak makan stigma dan konstruksi selama 20 tahun belakangan. Dan sayangnya, aku tidak bisa mengubah buntalan hitam itu menjadi putih. Apakah artinya dalam pikiranku sendiri tidak ada sedikit kesucian, kemurnian dan hal-hal positif itu? Persetan! Kau akan mati jika terus menerus makan stigma yang terus disuapkan di mulut pikiranmu! Ah, bukannya aku memang ingin mati? Jangan bodoh! Kau sudah terlalu liar. Ups! *** Hei, bukankah aku tidak p

Sajak Senja

Senja yang indah, bukan? Ketika awan hitam mendadak tergantikan oleh merahnya langit Ketika rintik air hujan berubah menjadi semburah cahaya emas di ufuk barat Ketika dingin menusuk tulang berpilin, berubah menjadi sebuah kehangatan sunset yang menawan Ketika suara sayap hewan malam mulai bergetar menyambut petang Ketika cahaya hijau kunang-kunang mulai bergemerlapan Ketika satu-dua bintang mulai bermunculan, menciptakan gugusan berlian di angkasa Lalu, dimana letak kecelaan Tuhan? Bukankah hidup ini sudah cukup indah? Lalu, mengapa masih ada saja yang terkungkung oleh senyapnya hati menanti cinta yang semu? Lalu, mengapa masih ada penderitaan di atas kehidupan yang seharusnya indah ini? Entahlah, terkadang seseorang memang memiliki alasan untuk apa mereka menderita, untuk apa mereka menanti sesuatu yang semu. Barangkali untuk sebuah kebijaksaan hidup saat usia senja mereka nanti.

Lari Kembali

Ini pertama kalinya aku memikirkan cara bagaimana membunuh diriku sendiri Setelah sekian patah yang hadir Tuhan, aku ingin lari dengan sangat kencang Tidak lupa membawa waktu untuk ikut serta Supaya dia bisa sedikit membuatku lupa Atau bahkan amnesia Itu sebabnya aku ingin naik gunung Lalu menjatuhkan diri ke jurang di sana Atau menunggu jam sepuluh pagi hingga gas belerang mematikanku pelan-pelan Dosa-dosa ini, aku yang buat, aku yang ciptakan Tapi aku sendiri yang tidak bisa terbiasa dengan dosa itu Tuhan, dimana kau bersarang? Aku ingin ikut denganmu Aku berjanji akan menggosok gigiku dan mencuci kakiku setiap dekat Tapi aku ingin lahir kembali Dan menjadi aku